Jumat, 20 Juli 2007

KUTAI TIMUR

Kabupaten Kutai Timur

BAGAIKAN naik jet coaster di dunia fantasi yang meluncur naik turun dengan tajamnya. Begitulah kondisi jalan darat dari Samarinda menuju Kabupaten Kutai Timur. Jalan menanjak bagai mendaki gunung, selanjutnya menurun curam. Tikungan-tikungan tajam, guncangan tiada henti akibat jalan yang berlubang dan ambles mengiringi perjalanan sejauh 300 kilometer arah utara dari Kota Balikpapan.

JALAN yang lumayan mulus baru dijumpai ketika memasuki Sangatta, ibu kota Kabupaten Kutai Timur. Jalan-jalan di kecamatan ini terlihat belum lama selesai dikerjakan. Sebagai ibu kota kabupaten yang berusia empat tahun sejak terpisah dari kabupaten induk, Kabupaten Kutai, daerah ini terus berbenah.

Perbaikan infrastruktur perhubungan menjadi prioritas, mengingat jaringan jalan merupakan prasarana yang menjembatani aktivitas penduduk dari wilayah satu ke wilayah lain. Jalan dan jembatan antarkecamatan dan desa menjadi prioritas dibenahi dan diperbaiki. Kelancaran arus barang dari sentra-sentra produksi ke konsumen maupun ke daerah pemasaran sangat bergantung pada kondisi jalan dan jembatan. Apalagi Kutai Timur terkenal kaya hasil bumi, hasil pertanian maupun pertambangan.

Di wilayah yang topografinya bervariasi ini, mulai dari daerah dataran (536,200 ha), lereng bergelombang (1,42 juta ha), hingga pegunungan (1,6 juta ha), tersimpan potensi batu bara 5,35 miliar ton. Cadangan terbesar terdapat di wilayah Sangatta 570 juta ton (cadangan batu bara yang terukur) dan 2,45 miliar ton (yang belum terukur) yang dikelola PT Kaltim Prima Coal (KPC). Belum lagi di Bengalon, menyimpan cadangan batu bara 187 juta ton dan Busang 70 juta ton. Tak kurang dari 116 perusahaan terdiri atas 69 perusahaan tambang pemegang kuasa pertambangan mengusahakan areal 625.440 ha, dan 47 perusahaan terikat perjanjian kerja sama pengembangan batu bara dengan areal yang diusahakan 1,82 juta ha.

Besarnya potensi bahan tambang di Kutai Timur membuat struktur ekonomi kabupaten ini masih bertumpu pada sektor pertambangan, yang didominasi migas dan batu bara. Selama empat tahun terakhir sejak Kutai Timur menjadi daerah otonom, sektor pertambangan menyumbang rata-rata 80 persen pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sementara sektor pertanian 9,8 persen. Agaknya, struktur ekonomi yang berbasis sumber daya alam seperti ini kurang menguntungkan masyarakat dan pemerintah dalam jangka panjang. Ini disebabkan eksplorasi sumber daya migas dan batu bara akan berhenti pada saat bahan baku yang ditambang habis.

Mau mengandalkan sektor pertanian yang menjadi penyumbang PDRB terbesar kedua masih jauh panggang dari api. Sektor ini pada masa lalu belum memperoleh perhatian serius. Meskipun secara absolut PDRB sektor pertanian meningkat dari Rp 89 miliar pada tahun 1993 menjadi Rp 113 miliar di tahun 2000, secara relatif sumbangannya turun. Dalam jangka panjang, peranan sektor pertanian akan sulit diandalkan selaras dengan fenomena di tingkat nasional, sehingga perlu dicari sektor pengganti yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sumber penyedia lapangan kerja.

Kutai Timur memiliki sumber daya lahan yang berlimpah dan potensial untuk pertumbuhan tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, dan peternakan. Juga, garis pantai 152 km yang dapat dijadikan modal dasar pengembangan perikanan. Ditunjang pula sebagian besar (66,5 persen) penduduk (usia 15 tahun ke atas) bekerja di lapangan usaha pertanian, dengan jumlah terbesar (42,2 persen) bergelut di sektor pertanian pangan. Maka, pengembangan pertanian dalam skala agrobisnis menjadi pilihan tepat. Selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, juga memperbaiki distribusi pendapatan.

Menyadari potensi ini, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur mulai memancangkan arah pengembangan pembangunan daerah yang berbasis pada sektor pertanian dalam arti lebih luas, yakni agrobisnis dan agroindustri. Strategi ini kemudian dituangkan dalam program Gerakan Daerah Pengembangan Agrobisnis (Gerdabangagri).

Secara geografis wilayah Kutai Timur cocok untuk pengembangan agrobisnis. Tersedia lahan potensial 1,3 juta ha bagi pengembangan komoditas pertanian, seperti lahan untuk kelapa sawit, karet, cokelat, kopi, dan kelapa. Juga untuk tanaman hortikultura dan palawija, di antaranya nanas, durian, rambutan, jagung, lada, dan sayur- sayuran.

Produksi yang sudah kelihatan hasilnya adalah kelapa sawit. Tahun 2002, dari lahan 30.886 hektar dihasilkan 65.793 ton kelapa sawit. Perkebunan ini dikelola oleh dua perusahaan besar swasta, yakni PT Swakarsa Sinar Sentosa di Muara Wahau dan PT Matra Sawit Sarana Sejahtera di Kongbeng. Hasilnya langsung diproses menjadi crude palm oil (CPO) di pabrik milik perusahaan tersebut. CPO ini kemudian diangkut ke Pelabuhan Labanan di Kabupaten Berau menggunakan truk tangki. Selain itu, kelapa sawit juga diusahakan oleh perkebunan rakyat 3.600 ha dengan produksi 6.480 ton. Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor andalan yang dijadikan bahan baku minyak goreng. Kelapa sawit produk Kutai Timur termasuk salah satu komoditas ekspor CPO Indonesia ke Belanda, India, Cina, Malaysia, dan Jerman, sedangkan produk minyak inti sawit (PKO) lebih banyak diekspor ke Belanda, Amerika Serikat, dan Brasil.

Hasil perkebunan lainnya adalah kelapa, yang banyak ditanam di Kecamatan Muara Wahau, Sangkulirang, Sandaran, dan Kaliorang, melibatkan 6.581 petani. Hasil perkebunan kelapa tidak saja dijual butiran, tetapi diolah menjadi minyak dan gula kelapa. Ada 161 unit usaha pengolahan hasil pertanian tersebut. Hasil perkebunan lainnya, kakao yang lahannya terdapat di Busang, Sangkulirang, Sangatta, Muara Wahau, dan Kaliorang. Sebanyak 2.269 petani terlibat di usaha perkebunan ini. Tahun 2002 dihasilkan 2.807 ton dari lahan 6.995 hektar. Banyak industri makanan yang bahan bakunya kakao, sehingga peluang pemasaran dan ekspor kakao terbuka lebar. Kakao banyak dipasarkan ke luar Kutai Timur. Belum lagi tanaman perkebunan lainnya, walaupun hasilnya belum maksimal tapi terus meningkat, seperti karet, kelapa, kopi, lada putih, cengkeh, dan kemiri.

Tidak ada komentar: